Surprise, benar-benar kejutan. Tulisan yang saya sendiri lupa
kapan saya kirim ternyata dimuat dimajalah ar-Risalah edisi 102. “ibu harus
banyak menulis lagi.” Begitu kata anak bungsuku dan anak-anakku, memberi
semangat. Merekalah permata hatiku yang ingin aku ceritakan.
Namun disaat semangatku terpacu, tiba-tiba penglihatanku
terasa kurang nyaman. Dokter memvonis mataku terkena gejala katarak.
Subehanallah ternyata sudah enam puluh empat tahun aku menikmati pinjaman penglihatan ini. Segala puji bagi Allah yang
memberiku nikmat melihat, mendengar, nikmat iman dan Islam.. dokter memang
memvonisku demikian namun tetaplah Allah yang
menentukan. Tak sedikitpun aku gemetar, takut apalai mengeluh. Tawakkal
dihatiku tetap utuh. Aku yakinkan diriku, bila Allah memberi tantangan ujian,
hikmahnya sudah disiapkan, sanggupkah saya menguak dan meraihnya?
Dan inilah kisahku...
Saat ini hampir seluruh waktuku habis dalam dunia pendidikan.
Seperti mengajar di TK Alquran dan mengasuh pesantren Ash-shobirin. Sebagai
pengasuh saya memposisikan diri sebagai bunda dalam rumah tangga. Tugasku
sehari-hari sangat menyenangkan. Seperti harus siap menyediakan makanan saat
anak-anak sedang lapar, kapan saja dan apa saja kondisinya .Bila pesantren
mengadakan acara, entah itu khataman atau kenaikan kelas atau khutbah ta’aruf,
aku ingin para asatidz tampil beda dan aku berusaha untuk menyuguhkan sesuatu
yang spesial. Dan pastinya hal tersebut menuntut biaya ekstra.
Tentu saja aku harus panndai-pandai mencar terobosan untuk
menerobos kendala itu. Salah satunya dnegan mengadakan arisan dan menggalang
dana silaturahim. Bukankah silaturahim dapat membuka pintu rezeki? Relasi yang
sering saya hubungi adalah teman-teman saat haji. Walaupun sudah sembilan belas
tahun momen itu berlalu tetapi tetap saja silaturrahim masih berjalan terus.
Mayoritasnya dapat ditemui di pasar sumber;ada Hj. Fat, pemilik toko grosir
beras, Hj. Ema pemilik grosir snack, keluarga Hj. Tato, yang berdagang
konfeksi, Hj. Temu dan anak-anakku yang aktif di BMT. Semuanya saya minta
menjadi donatur. Alhamdulillah mereka bersedia memberikan infak rutin setiap
bulan.
Sejak itu aktivitasku bertambah satu, bersilaturrahim dari
warung kewarung. Ada kenangan indah yang tak kulupakan, dulu sewaktu badan
masih bugar, saya selalu menjemput infak sendiri. Tidak apa-apalah
bersilaturrahim kepada mereka yang masih muda. Tak ada perasaan canggung
walaupun usiaku jauh diatas mereka. Alhamdulillah respon mereka sangat baik.
Bantuan yang terkumpul kami gunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dipesantren
ash-Shobirin . pedagang pasar sudah hafal menu yang akan saya beli, ikan asin,
lauk istimewa itu dipasangkan dengan
sayur asam serta sambal.. dan jadilah menu paling istimewa di
ash-Shobirin, mengapa istimewa karena ketinganya ada dalam satu piring sekaligus. Padahal,
biasanya cukup satu macam saja ,jika
uangnya masih sisa, saya tukarkan dengan jambu atau semangka , sebagai
dessert-nya. Sungguh menyenangkan, berkeliling menjmput infak, kemudian membeli
lauk pauk untuk anak-anak di pondok. Seperti itulah seharusnya seorang bunda,
itu dulu.
Sekarang kebutuhan pokok semakin banyak. Tak cukup hanya
mengandalkan dana infak. Kami semakin memutar otak. Tercetuslah sebuah ide
mengadakan arisan. Kalau dulu uang infak untuk mengadakan dayli meal, sekarang
kami gunakan untuk setoran arisan. Dari
satu putaran kami hanya mendapat lima juta. Akhirna kami ikut tiga nomor, agar
bisa terkumpul 15 juta sekaligus. Dengan uang sebesar itu, kami memiliki impian
membeli tanah disekitar pondok untuk
perluasan lahan, alhamdulillah Allah selalu memudahkan. Kini tanah yang kami
miliki sudah cukup tinggal tinggal
prasarana yang harus dibangun . dana yang semula menjadi makanan kini berwujud
menjadi tanah atau bangunan, bukankah itu lebih berpahala dan tahan lama?
Walaupun untuk mewujudkannya kami berjuang keras.
Dua bulan lagi arisan putaran kedua akan berakhir, juni
mendatang akan dimulai lagi. Terselip doa semoga anggota yang ada tetap
bertahan, agar program kami dapat berjalan. Kami ingin membangun dapur yang
higienis, bersih dan rapi walaupun kecil, kami ingin segera mengakhiri dapur
yang gelap dan becek. Insya Allah.
Ada satu cita-cita yang ingin kami utarakan. Walaupun pesantren kami hanya seluas 500 m2
kami ingin menjadikannya sebuah pesantren yang ramah lingkungan. Sampah
dan limbah yang tidak berguna sebenarnya dapat diubah menjadi aset. Antara lain
membuat septik tank sebagai pabrik biogas, pengolahan air limbah dan daur ulang
sampah.
Kami juga ingin membuat suasana pondok lebih asri. Anak
bungsuku mengatakan, bahwa yang dapat menyehatkan mata menurut imam Syafi’i
adalah melihat ka’bah, membaca mushaf dan memandang yang hijau. Memandang
ka’bah memang belum bisa saat ini, tetapi membaca mushaf Al Qur’an harus bisa
walaupun hanya satu halaman sehari. Pemandangan alam yang hijau Alhamdulillah,
halaman hijau terhampar dan dapat dinikmati setiap hari. Maha suci Allah yang
memberiku penyakit beserta obatnya.
Sambil menjalani terapi saya ingin terus menulis higga amanat
penglihatanku diambil oleh Dzat yang maha memiliki. Itulah cita-citaku sebagai
bunda dari santriawati-santriawati ash-shobirin. Mungkin semua cita-cita
tersebut kelewat begitu tinggi, namun tetap harus kusampaikan. Untuk
anak-anakku, para asatidz dan snatri-santri ashShobirin setiap kali bunda
memiliki impian, sebagian besar dikabulkan oleh Allah swt.
Sewaktu remaja dulu bunda ingin mengenyam pendidikan tinggi,
memiliki karir yang cemerlang dan menjadi istri tokoh terhormat, Alhamdulillah
Allah mewujudkan semuanya. Dan kini bunda
bercita-cita memiliki pesantren yang asri dan nyaman untuk belajar ulumuddin.
Bunda yakin Allah akan memudahkan. Sebab dimana ada keinginan disitu ada
emudahan.
Sumber:
ar-Risalah
0 comments:
Post a Comment