Perlu diketahui bahwa dusta itu
haram dalam segala hal, kecuali dalam situasi darurat. Hingga suatu ketika seorang wanita berkata
kepada anaknya yang masih kecil: “mari ke sini nak, nanti ku beri sesuatu!”
mendengar itu, Nabi saw. Bertanya kepadanya: “apa yang akan kau berikan
kepadanya jika ia menghampirimu?” wanita itu menjawab: “sebuah kurma.” Kemudian
Nabi Saw. Bersabda: “seandainya kamu tidak memberinya, maka kamu dicatat telah
melakukan suatu dusta”
Setiap manusia harus menghindari
dusta, sekalipun hanya dalam bentuk khayalan dan bisikan hati. Karena hal itu
akan tertanam didalam jiwanya lukisan yang bengkok, hinga kedustaan itu terbawa
dalam mimpnya, mimpi dusta. Rahasia-rahasia alam malakut tidak dapat tersingkap
dalam tidurnya. Padahal dalam realitasnya, hal demikian itu dapat disaksikan.
Dusta memang diharamkan, tetapi
dalam kondisi tertentu bisa ditolerir, ketika kejujuran justru akan
menjerumuska kepada larangan lain yang lebih dahsyat dari pada dusta. Dalam hal
ini, maka dusta diperbolehkan, sebagaimana diperbolehkannya memakan bangkai
bila tidak memakannya justru akan mendatangkan bahaya yang lebih besar daripada
memakannya, yaitu hilangnya nyawa.
Ummu Kultsum r.a berkata:
“Rasulullah saw. Tidak mengizinkan dusta dalam segala hal kecuali dalam tiga
hal:
1. Orang
yang berkata dengan tujuan mendamaikan persengketaan.
2. Orang
yang berkata dengan tujuan siasat dalam perang.
3. Suami
yang berbicara kepada istrinya demi keharmonisan rumah tangganya.
Yang demikian
itu jika musuh mengetahui rahasia-rahasia strategi perang, maka mereka akan
dengan mudah menyerang dan mengalahkan. Begitu pula, bila rahasia-rahasia suami
diketahu oleh istri, akan menimbulkan malapetaka yang lebih besar daripada
daripada petaka yang disebabkan oleh dusta. Demikian pula dengan dua pihak yang
bersengketa, antara mereka akan timbul kemaksiatan dan permusuhan yang
berkepanjangan. Ketika dimungkinkan untuk mendamaikan antara dua pihak yang
bersengketa, dengan dusta, maka hal itu boleh dilakukan, bahkan lebih utama.
Demikian sebagaimana yang diriwayatkan dalam hadits.
Hal yang semakna
dengn dusta di atas adalah dusta yang dilakukan seseorang untuk melindungi
harta orang lain dari orang zalim, atau berdusta untuk menutupi rahasia orang
lain, atau menutupi kemaksiatan dirinya dari orang lain. Karena terang-terangan
berbuat kefasikan dan memproklamirkannya adalah haram, dan pengingkaran atas
kejahatan dirinya terhadap orang lain akan dapat membuat hatinya terhibur.
Begitu pula kedustaan tehadap istri, agar cintanya semakin kokoh dan rumah
tangganya menjadi harmonis peuh cinta kasih. Semua kedustaan itu, haruslah
didasarkan pada tujuan untuk menghindari bahaya yang lebih dahsyat, dari bahaya
dusta itu.
Tetapi kedustaan
tersebut diharamkan, bila bertujuan mengamambil keuntungan materi dan status
ossial, karena didalamnya ada unsur dusta terhadap sebagian besar manusia.
Apabila seseorang terpaksa harus berdusta, hendaklah ia gunakan kata-kata yang
diplomatis sedapat mungkin untuk menghindari dusta, agar tidak terbiasa dengan
dusta.
Adalah Ibrahim
bin Ad-ham bila ia dicari seseorang didalam rumah, ia berpesan kepada
pelayannya, agar berkata kepada orang itu: “carilah dia di mesjid.”
As-Sya’bi
membuat garis lingkaran dan kepda pelayannya ia berkata: “bila ada yang mencari
Sya’bi, letakkan jarimu didalam lingkaran ini, lalu katakanlah, ia tidak
disini.”
Sebagian ulama
salaf ada membuat alasan kepada penguasa, dengan berkata: “sejak aku berpisah
denganmu, aku tidak pernah mengangkat lambungku dari tanah, kecuali selama
Allah swt. Menghendaki.”
Ada sebagian lain yang mengingkari apa yang
telah dikatakan dihadapan penguasa secara diplomatis, dengan bermain kata-kata.
Seperti dengan menggunakan huruf maa nafi yang berarti tidak, tetapi mereka
memaknainya dengan maksud lain, tidak sebagai maa fii.
Dalam
maksud-maksud tertentu yang tidak begitu penting, berolah kata dan berdiplomasi
dierkenangkan karena adanya sabda Nabi Saw.
Nabi Saww.
Pernah bersabda, “perempuan tua tidak masuk surga”; “kami akan mengangkatmu
keatas anak unta”; dan “dikedua mata suamimu ada warna putih.”
Kalimat-kalimat
tersebut memberikan pengertian akan kesamaran arti dari maksud sebenarnya. Hal
itu diperbolehkan untuk diucapkan kepada perempuan dan anak kecil dengan maksud
menghibur hati mereka, dengan nada becanda.
Demikian pula,
orang yang tidak mau makan ketika ditawari makan, jangalah ia berdusta dengan
mengatakan, ia tidak berselera, bila sebenarnya ia menyukainya. Tetapi
gunakanlah kata-kata diplomatis yang dapat menghindarkan dari dusta.
Terhadap seorang
perempuan yang mengucapkan kalimat itu, Nabi Saw. Berkata kepadanya: “jangan
engkau gabungkan antara dusta dan rasa lapar.”
0 comments:
Post a Comment